Senin, 26 Juli 2010

Bulan Sya’ban ?

Bulan Sya’ban ?

Oleh: H. Ahsan Ghozali


Sya’ban adalah salah satu bulan yang mulia. Bulan ini adalah pintu menuju bulan Ramadlan. Siapa yang berupaya membiasakan diri bersungguh-sungguh dalam beribadah di bulan ini, ia akan akan menuai kesuksesan di bulan Ramadlan.
Dinamakan Sya’ban, karena pada bulan itu terpancar bercabang-cabang kebaikan yang banyak (yatasya’abu minhu khairun katsir). Menurut pendapat lain, Sya’ban berasal dari kata Syi’b, yaitu jalan di sebuah gunung atau jalan kebaikan. Dalam bulan ini terdapat banyak kejadian dan peristiwa yang patut memperoleh perhatian dari kalangan kaum muslimin.

Pindah Qiblat
Pada bulan Sya’ban, Qiblat berpindah dari Baitul Maqdis, Palistina ke Ka’bah, Mekah al Mukarromah. Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam menanti-nanti datangnya peristiwa ini dengan harapan yang sangat tinggi. Setiap hari Beliau tidak lupa menengadahkan wajahnya ke langit, menanti datangnya wahyu dari Rabbnya. Sampai akhirnya Allah Subhanahu Wata’ala mengabulkan penantiannya. Wahyu Allah Subhanahu Wata’ala turun. “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah; 144)

Diangkatnya Amal Manusia
Salah satu keistimewaan bulan Sya’ban adalah diangkatnya amal-amal manusia pada bulan ini ke langit. Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Saya berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam suatu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti puasamu di bulan Sya’ban.” Maka beliau bersabda: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan. Dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada rabbul ‘alamin. Dan saya menyukai amal saya diangkat, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa.” (HR. Nasa’i).

Keutamaan Puasa di Bulan Sya’ban
Rasulullah ditanya oleh seorang sahabat, “Adakah puasa yang paling utama setelah Ramadlan?” Rasulullah Shollallahu alai wasallam menjawab, “Puasa bulan Sya’ban karena berkat keagungan bulan Ramadhan.”Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sampai kami katakan beliau tidak pernah berbuka. Dan beliau berbuka sampai kami katakan beliau tidak pernah berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
Sepintas dari teks Hadits di atas, puasa bulan Sya’ban lebih utama dari pada puasa bulan Rajab dan bulan-bulan mulia (asyhurul hurum) lainnya. Padahal Abu Hurairah telah menceritakan sabda dari Rasulullah Shollallu alaihi wasallam, “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan-bulan mulia (asyhurul hurum).” Menurut Imam Nawawi, hal ini terjadi karena keutamaan puasa pada bulan-bulan mulia (asyhurul hurum) itu baru diketahui oleh Rasulullah di akhir hayatnya sebelum sempat beliau menjalaninya, atau pada saat itu beliau dalam keadaan udzur (tidak bisa melaksanakannya) karena bepergian atau sakit.
Sesungguhnya Rasulullah Shollallu alaihi wasallam mengkhususkan bulan Sya’ban dengan puasa itu adalah untuk mengagungkan bulan Ramadhan. Menjalankan puasa bulan Sya’ban itu tak ubahnya seperti menjalankan sholat sunat rawatib sebelum sholat maktubah. Jadi dengan demikian, puasa Sya’ban adalah sebagai media berlatih sebelum menjalankan puasa Ramadhan.
Adapun berpuasa hanya pada separuh kedua bulan Sya’ban itu tidak diperkenankan, kecuali:
1. Menyambungkan puasa separuh kedua bulan Sya’ban dengan separuh pertama.
2. Sudah menjadi kebiasaan.
3. Puasa qodlo.
4. Menjalankan nadzar.
5. Tidak melemahkan semangat puasa bulan Ramadhan.

Turun Ayat Sholawat Nabi
Salah satu keutamaan bulan Sya’ban adalah diturunkannya ayat tentang anjuran membaca sholawat kepada Nabi Muhammad Shollallu alaihi wasallam pada bulan ini, yaitu ayat: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al Ahzab;56)

Sya’ban, Bulan Al Quran
Bulan Sya’ban dinamakan juga bulan Al Quran, sebagaimana disebutkan dalam beberapa atsar. Memang membaca Al Quran selalu dianjurkan di setiap saat dan di mana pun tempatnya, namun ada saat-saat tertentu pembacaan Al Quran itu lebih dianjurkan seperti di bulan Ramadhan dan Sya’ban, atau di tempat-tempat khusus seperti Mekah, Roudloh dan lain sebagainya.
Syeh Ibn Rajab al Hambali meriwayatkan dari Anas, “Kaum muslimin ketika memasuki bulan Sya’ban, mereka menekuni pembacaan ayat-ayat Al Quran dan mengeluarkan zakat untuk membantu orang-orang yang lemah dan miskin agar mereka bisa menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

Malam Nishfu Sya’ban
Pada bulan Sya’ban terdapat malam yang mulia dan penuh berkah yaitu malam Nishfu Sya’ban. Di malam ini Allah Subhanahu wata’ala mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang minta belas kasihan, mengabulkan doa orang-orang yang berdoa, menghilangkan kesusahan orang-orang yang susah, memerdekakan orang-orang dari api neraka, dan mencatat bagian rizki dan amal manusia.
Banyak Hadits yang menerangkan keistimewaan malam Nishfu Sya’ban ini, sekalipun di antaranya ada yang dlo’if (lemah), namun Al Hafidh Ibn Hibban telah menyatakan kesahihan sebagian Hadits-Hadits tersebut, di antaranya adalah: “Nabi Muhammad Shollallhu alaihi wasallam bersabda, “Allah melihat kepada semua makhluknya pada malam Nishfu Sya’ban dan Dia mengampuni mereka semua kecuali orang yang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR. Thabarani dan Ibnu Hibban).
Para ulama menamai malam Nishfu Sya’ban dengan beragam nama. Banyaknya nama-nama ini mengindikasikan kemuliaan malam tersebut.
1. Lailatul Mubarokah (malam yang penuh berkah).
2. Lailatul Qismah (malam pembagian rizki).
3. Lailatut Takfir (malam peleburan dosa).
4. Lailatul Ijabah (malam dikabulkannya doa)
5. Lailatul Hayah walailatu ‘Idil Malaikah (malam hari rayanya malaikat).
6. Lalilatus Syafa’ah (malam syafa’at)
7. Lailatul Baro’ah (malam pembebasan). Dan masih banyak nama-nama yang lain.

Pro dan Kontra Seputar Nishfu Sya’ban
Al Hafidh Ibn Rojab al Hambali dalam kitab al Lathoif mengatakan, “Kebanyakan ulama Hadits menilai bahwa Hadits-Hadits yang berbicara tentang malam Nishfu Sya’ban masuk kategori Hadits dlo’if (lemah), namun Ibn Hibban menilai sebagaian Hadits itu shohih, dan beliau memasukkannya dalam kitab shohihnya.” Ibnu Hajar al Haitami dalam kitab Addurrul Mandlud mengatakan, “Para ulama Hadits, ulama Fiqh dan ulama-ulama lainnya, sebagaimana juga dikatakan oleh Imam Nawawi, bersepakat terhadap diperbolehkannya menggunakan Hadits dlo’if untuk keutamaan amal (fadlo’ilul amal), bukan untuk menentukan hukum, selama Hadits-Hadits itu tidak terlalu dlo’if (sangat lemah).”Jadi, meski Hadits-Hadits yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebut dlo’if (lemah), tapi tetap boleh kita jadikan dasar untuk menghidupkan amalam di malam Nishfu Sya’ban.

Kebanyakan ulama yang tidak sepakat tentang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban itu karena mereka menganggap serangkaian ibadah pada malam tersebut itu adalah bid’ah, tidak ada tuntunan dari Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam. Sedangkan pengertian bid’ah secara umum menurut syara’ adalah sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah. Jika demikian secara umum bid’ah itu adalah sesuatu yang tercela (bid’ah sayyi’ah madzmumah). Namun ungkapan bid’ah itu terkadang diartikan untuk menunjuk sesuatu yang baru dan terjadi setelah Rasulullah wafat yang terkandung pada persoalan yang umum yang secara syar’i dikategorikan baik dan terpuji (hasanah mamduhah).

Imam Ghozali dalam kitab Ihya Ulumiddin Bab Etika Makan mengatakan, “Tidak semua hal yang baru datang setelah Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam itu dilarang. Tetapi yang dilarang adalah memperbaharui sesuatu setelah Nabi (bid’ah) yang bertentangan dengan sunnah.” Bahkan menurut beliau, memperbaharui sesuatu setelah Rasulullah (bid’ah) itu terkadang wajib dalam kondisi tertentu yang memang telah berubah latar belakangnya.”
Imam Al Hafidh Ibn Hajjar berkata dalam Fathul Barri, “Sesungguhnya bid’ah itu jika dianggap baik menurut syara’ maka ia adalah bid’ah terpuji (mustahsanah), namun bila oleh syara’ dikategorikan tercela maka ia adalah bid’ah yang tercela (mustaqbahah). Bahkan menurut beliau dan juga menurut Imam Qarafi dan Imam Izzuddin ibn Abdis Salam bahwa bid’ah itu bisa bercabang menjadi lima hukum.

Syeh Ibnu Taimiyah berkata, “Beberapa Hadits dan atsar telah diriwayatkan tentang keutamaan malam Nisyfu Sya’ban, bahwa sekelompok ulama salaf telah melakukan sholat pada malam tersebut. Jadi jika ada seseorang yang melakukan sholat pada malam itu dengan sendirian, maka mereka berarti mengikuti apa yang dilakukan oleh ulama-ulama salaf dulu, dan tentunya hal ini ada hujjah dan dasarnya. Adapun yang melakukan sholat pada malam tersebut secara jamaah itu berdasar pada kaidah ammah yaitu berkumpul untuk melakukan ketaatan dan ibadah.
Walhasil, sesungguhnya menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan serangkaian ibadah itu hukumnya sunnah (mustahab) dengan berpedoman pada Hadits-Hadits di atas. Adapun ragam ibadah pada malam itu
dapat berupa sholat yang tidak ditentukan jumlah rakaatnya secara terperinci, membaca Al Quran, dzikir, berdo’a, membaca tasbih, membaca sholawat Nabi (secara sendirian atau berjamaah), membaca atau mendengarkan Hadits, dan lain-lain.

Tuntunan Nabi di Malam Nisyfi Sya’ban
Rasulullah telah memerintahkan untuk memperhatikan malam Nisyfi Sya’ban, dan bobot berkahnya beramal sholeh pada malam itu diceritakan oleh Sayyidina Ali Rodliallahu anhu, Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam bersabda: “Jika tiba malam Nisyfi Sya’ban, maka bersholatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya karena sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala menurunkan rahmatnya pada malam itu ke langit dunia, yaitu mulai dari terbenamnya matahari. Lalu Dia berfirman, ‘Adakah orang yang meminta ampun, maka akan Aku ampuni? Adakah orang meminta rizki, maka akan Aku beri rizki? Adakah orang yang tertimpa musibah, maka akan Aku selamatkan? Adakah begini atau begitu? Sampai terbitlah fajar.’” (HR. Ibnu Majah)

Malam Nishfu Sya’ban atau bahkan seluruh bulan Sya’ban sekalipun adalah saat yang tepat bagi seorang muslim untuk sesegera mungkin melakukan kebaikan. Malam itu adalah saat yang utama dan penuh berkah, maka selayaknya seorang muslim memperbanyak aneka ragam amal kebaikan. Doa adalah pembuka kelapangan dan kunci keberhasilan, maka sungguh tepat bila malam itu umat Islam menyibukkan dirinya dengan berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala. Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam mengatakan, “Doa adalah senjatanya seorang mukmin, tiyangnya agama dan cahayanya langit dan bumi.” (HR. Hakim). Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam juga mengatakan, “Seorang muslim yang berdoa -selama tidak berupa sesuatu yang berdosa dan memutus famili-, niscaya Allah Subhanahu wata’ala menganugrahkan salah satu dari ketiga hal, pertama, Allah akan mengabulkan doanya di dunia. Kedua, Allah baru akan mengabulkan doanya di akhirat kelak. Ketiga, Allah akan menghindarkannya dari kejelekan lain yang serupa dengan isi doanya.” (HR. Ahmad dan Barraz).
Tidak ada tuntunan langsung dari Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam tentang doa yang khusus dibaca pada malam Nishfu Sya’ban. Begitu pula tidak ada petunjuk tentang jumlah bilangan sholat pada malam itu. Siapa yang membaca Al Quran, berdoa, bersedekah dan beribadah yang lain sesuai dengan kemampuannya, maka dia termasuk orang yang telah menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dan ia akan mendapatkan pahala sebagai balasannya.
Adapun kebiasaan yang berlaku di masyarakat, yaitu membaca Surah Yasin tiga kali, dengan berbagai tujuan, yang pertama dengan tujuan memperoleh umur panjang dan diberi pertolongan dapat selalu taat kepada Allah. Kedua, bertujuan mendapat perlindungan dari mara bahaya dan memperoleh keluasaan rikzi. Dan ketiga, memperoleh khusnul khatimah (mati dalam keadaan iman), itu juga tidak ada yang melarang, meskipun ada beberapa kelompok yang memandang hal ini sebagai langkah yang salah dan batil.

Dalam hal ini yang patut mendapat perhatian kita adalah beredarnya tuntunan-tuntunan Nabi tentang sholat di malam Nishfu sya’ban yang sejatinya semua itu tidak berasal dari beliau. Tidak berdasar dan bohong belaka. Salah satunya adalah sebuah riwayat dari Sayyidina Ali, “Bahwa saya melihat Rasulullah pada malam Nishfu Sya’ban melakukan sholat empat belas rekaat, setelahnya membaca Surat Al Fatihah (14 x), Surah Al Ikhlas (14 x), Surah Al Falaq (14 x), Surah Annas (14 x), ayat Kursi (1 x), dan satu ayat terkhir Surat At Taubah (1 x). Setelahnya saya bertanya kepada Baginda Nabi tentang apa yang dikerjakannya, Beliau menjawab, “Barang siapa yang melakukan apa yang telah kamu saksikan tadi, maka dia akan mendapatkan pahala 20 kali haji mabrur, puasa 20 tahun, dan jika pada saat itu dia berpuasa, maka ia seperti berpuasa dua tahun, satu tahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Dan masih banyak lagi Hadits-Hadits palsu lainnya yang beredar di tengah-tengah kaum muslimin. (Disarikan dari “Madza fi Sya’ban”, karya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki, Muhadditsul Haromain).

Minggu, 09 Mei 2010

Pernikahan

Pernikahan

Pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasul SAW dan merupakan anjuran agama. Pernikahan yang disebut dalam al-Quran sebagai miitsaaqun ghaliizh, perjanjian agung, bukanlah sekedar upacara dalam rangka mengikuti tradisi, bukan semata-mata sarana mendapatkan keturunan, dan apalagi hanya sebagai penyaluran libido seksualitas atau pelampiasan nafsu syahwat belaka.

Pernikahan adalah amanah dan tanggungjawab. Bagi pasangan yang masing-masing mempunyai niat tulus untuk membangun mahligai kehidupan bersama dan menyadari bahwa pernikahan ialah tanggungjawab dan amanah, maka pernikahan mereka bisa menjadi sorga. Apalagi, bila keduanya saling menyintai.
Nabi Muhammad SAW telah bersabda yang artinya,“Perhatikanlah baik-baik istri-istri kalian. Mereka di samping kalian ibarat titipan, amanat yang harus kalian jaga. Mereka kalian jemput melalui amanah Allah dan kalimah-Nya. Maka pergaulilah mereka dengan baik, jangan kalian lalimi, dan penuhilah hak-hak mereka.
” Ketika berbicara tentang tanggungjawab kita, Rasulullah SAW antara lain juga menyebutkan bahwa “Suami adalah penggembala dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya dan isteri adalah penggembala dalam rumah suaminya dan bertanggungjawab atas gembalaannya.
” Begitulah, laki-laki dan perempuan yang telah diikat atas nama Allah dalam sebuah pernikahan, masing-masing terhadap yang lain mempunyai hak dan kewajiban. Suami wajib memenuhi tanggungjawabnya terhadap keluarga dan anak-anaknya, di antaranya yang terpenting ialah mempergauli mereka dengan baik. Istri dituntut untuk taat kepada suaminya dan mengatur rumah tangganya.
Masing-masing dari suami-isteri memikul tanggungjawab bagi keberhasilan perkawinan mereka untuk mendapatkan ridha Tuhan mereka. Apabila masing-masing lebih memperhatikan dan melaksanakan kewajibannya terhadap pasangannya daripada menuntut haknya saja, Insya Allah, keharmonisan dan kebahagian hidup mereka akan lestari sampai Hari Akhir. Sebaliknya, apabila masing-masing hanya melihat haknya sendiri karena merasa memiliki kelebihan atau melihat kekurangan dari yang lain, maka kehidupan mereka akan menjadi beban yang sering kali tak tertahankan.
Masing-masing, laki-laki dan perempuan, secara fitri mempunyai kelebihan dan kekurangannnya sendiri-sendiri. Kelebihan-kelebihan itu bukan untuk diperbanggakan atau diperirikan. Kekurangan-kekurang pun bukan untuk diperejekkan atau dibuat merendahkan. Tapi, semua itu merupakan peluang bagi kedua pasangan untuk saling melengkapi. Kedua suami-isteri bersama-sama berjuang membangun kehidupan keluarga mereka dengan akhlak yang mulia dan menjaga keselamatan dan keistiqamahannya selalu. Dengan demikian, akan terwujudlah kebahagian hakiki di dunia maupun di akhirat kelak, Insya Allah.
Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri

Selasa, 04 Mei 2010

Sayidah Fathimah: Wasilah Dzuriyah Nabi

Banyak pertanyaan kenapa keturunan Nabi Saw. dari Sayidah Fathimah, tidak diturunkan dari anak lelaki Nabi Saw. Padahal nasab dihubungkan pada laki-laki. Apa dasarnya? Pertama, Untuk menjawab jahiliatul arab; ‘alladzi yatasaabun biauladiha’, mereka yang fanatik sekali terhadap anak lelakinya.

Untuk menjawab ini Rasulullah Saw. bersabda “kulu bani anbiya yantami ila abihi, setiap keturunan nabi terhubung melalui ayahnya. Karena para nabi terdahulu tidak mengalami sebagaimana yang dialami oleh Rasulullah Saw. Maka dijadikan keturunan mereka dari lelaki. Dimana hidupnya Nabiyullah Zakaria, Nabiyullah Yahya, Nabiyullah Musa dan lain sebagainya, mereka tidak taasub, fanatik terhadap anak lelakinya.
Tapi berbeda dengan masyarakat Arab saat itu. Sehingga nilai seorang wanita sangat terpojok sekali. Ini dijawab oleh Allah, karena munculnya pendapat-pendapat orang mengatakan:’ bahwa sayidah Fathimah adalah perempuan, tidak mungkin keturunan Rasulullah Saw. dari perempuan, berarti kan putus. Rasulullah Saw. dianggap abtar”. Dijawab oleh Allah Taala apa? ‘Inna ‘Athoinaka al Kautsar, fasholli lirabbika wanhar inna Syani’aka huwa al abtar’. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (QS: AL Kautsar:1-3). Kalimah "huwa al Abtar", dialah yang terputus (keturunannya), kepada siapa? Kaum jahiliyah yang menyerang dan menuduh Rasulullah: bahwa 'Rasulullah tidak punya keturunan lelaki'. Jadi huwa, ‘dia’ (dialah yang terputus) dalam ayat terakhir itu kembali pada yang mengejek Rasulullah Saw.
Darisinilah Sayidah Fathimah’ melahirkan Al Hasan dan Al Husain. Dari asbat, keturunan inilah melahirkan tokoh-tokoh a’imah, para imam besar. Termasuk Imamuna Syafi’i sendiri diturunkan daripada ibu katurunan Sayidah Fathimah. Karena ibunya Imam Syafi'i adalah Hababah Fathimah binti Abdullah al Mahith Fathimah bin Hasan al Mutsana bin Hasan As sibthi bin Ali bin Abi Thalib.
Jadi Imam Syafi'i sendiri walaupun dari pihak perempuan masih ada tetesan darah dari Musthofa Saw. Sampai Rasulullah Saw. sendiri mengatakan: “Khairul qurun qorni… sampai hadis Wakhtarallahu min bani Adam Fulan …al Fulan, min bani Hasyim… sebelum Bani Hasyim Wakhtara al Quraisy”. Dari keturunan Adam Allah memilih Quraisy. Keturunan Quraisy siapa? Imam empat tidak terlepas al Quraisy, Khulafaur Rasyidin tidak terlepas dari al Quraisyi.
Banyak yang bertemu di Ka’ab. Rasulullah bin Abdullah bin Abdu Mthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushoy bin Kilab bin Ka’ab. Nah, dari sini ada yang ketemu di Luay ada yang bertemu di Abdi Manaf. Jadi Khulafaur Rasyidin termasuk dalam sabda Nabi; Wahktara min Quraiysy, Waktara al Hasyimi.
Dari Quraisy pilih lagi menjadi al Hasyimi dari al Hasyimi di pilih lagi Bani Muthalibi, sampai Bani Fathimah binti Rasulullah. "Jaalallahu Ahli Baiti min Fathimah wa Ali waana ashobihima wawaliyuhumma", Ya Allah jadikan ahli baitku dari Fathimah dan Ali Aku adalah kelompok mereka dan pelindung mereka, Itu sabda Nabi.
Kedua, untuk menyatakan keturunan dari anak perempuan bisa lahir orang-orang yang hebat seperti al Hasan dan Husain. Ketiga, kalau siti Maryam sebagai wanita yang paling utama pada zamannya bisa melahirkan orang hebat: Isa bin Maryam, maka Sayidah Fathimah sebagai wanita yang paling utama fi jamanih, pada jamannya bisa melahirkan keturunan yang hebat pula: al Hasan dan Husain.
Wallahu A’lam


Artikel oleh : Habib Luthfi Yahya

Selasa, 27 April 2010

Karakter Mukmin Dalam Maqom Fana

Orang yang sampai pada maqam fana adalah orang yang berhasil membawa nilai-nilai shalat dalam seluruh aspek hidupnya. Ketika dia mengucapkan kata ‘ihdina shirata al mustaqim’ dalam shalat, bukan hanya untuk dirinya, tapi mendoakan orang lain, untuk semuanya. Bahkan menganggap yang didoakan lebih baik daripada dirinya.

Itulah orang yang mendapat berkah as sujud. Dimana digambarkan secara jelas dalam surat Fatah ayat 29: “Muhammad Rasulullah walladzina maahu assyida’u ala al Kuffar, ruhama’u bainahum, tarâhum rukkaan, sujjadan, yabtaghuna fadzla minallah waridhwana, simahum fi wujuhihim min atsari sujud”, Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Mukanya bercahaya, buktinya apa? Wajahnya selalu tersenyum. Seperti Rasulullah Saw. ketika menghadapi bermacam-macam umat, wajah beliau selalu berseri-seri. Selalu paling dahulu mengucapkan salam.Nah, orang yang dibuka hijabnya oleh Allah Swt. akan membawa nilai-nilai itu (baca:shalat, puasa dll) dalam kesehariannya. Dia semakin takut pada Allah, tidak berani membuka aib siapapun. Saya memberi contoh dengan kisah Hasan al Bashri, menurut satu pendapat Sufyan Tsauri.
Ketika Rabi’ah Adawiyah seorang wali wanita dilamar oleh Hasan al Bashri. Rabi’ah Adawiah mengatakan : ‘saya terima lamaran Anda kalau Anda bisa menjawab pertanyaan saya’. Apa pertanyaannya? Anda tahu tidak nanti saya kalau mati husnul khatimah atau suul khatimah? Yang bertanya wali wanita, yang ditanya pembesar para wali.

Apa jawaban Hasan Bashri? Beliau diam tidak menjawab, padahal beliau diberi tahu oleh Allah Swt.; mengetahui kalau Rabi’ah Adawiah akan husnul khatimah. Lebih baik tidak mendapatkan Rabi’ah Adawiah daripada suul adab, tidak sopan pada Allah Swt. Tidak seperti sekarang, murah ramalan; awas akan terjadi ini, akan terjadi itu. Para wali tidak begitu, mereka takut sama Allah Swt.
Para wali Allah yang sudah sampai pada maqamat al fana tidak tergiur dengan yang demikian.Dijaman Maulana Khalid al Mujadid para pelaku thariqah oleh Allah Swt. diberi karamah yang aneh-aneh; bisa terbang, bisa berjalan diatas air, besi ditekuk lemes. Sehingga banyak para pelaku thariqah yang hatinya terkait dengan hal yang demikian, akhirnya tidak bisa sampai (wusul) pada Allah Swt. Maka sewaktu Maulana Khalid memohon pada Allah Swt. supaya semua itu dihilangkan; yang terbang, jatuh; yang berjlan diatas air, tenggelam. Akhirnya setelah itu para pelaku thariqah kembali pada Allah Swt., tujuan para pelaku thariqat pada waktu itu lurus kembali.Banyak orang salah paham; bisa melemaskan besi; thariqat, bisa bercakap-cakap sama orang yang ada dikubur; thariqat, bisa berjalan diatas air; thariqat. Thariqat itu bukan seperti itu. Thariqat itu membingbing setiap individu manusia dalam meningkatkan sisi kehambaannya di sisi Allah Swt., kesadarannya sebagai hamba Allah Swt. Itu tujuan thariqat.

Masuk thariqat supaya diangkat jadi wali; supaya bisa inkisyaf, bukan untuk itu. Tapi thariqat untuk menjalankan apa yang ada dalam ihsan :’beribdahlah pada Allah seolah engkau dapat melihatNya. Jika tidak bisa, beribdahlah karena engkau dilihat Allah’ (HR: Al Bukhari 26. Muslim 93. Abu Dawud 4695. At Tirmidzi 2610. An Nasa’I 5005. Ibnu Majah 63. Ahmad jilid I, hal 28. Ibnu Hiban 168). Kalau kita sampai atau sudah mendekati maqam fana, hati itu bersih. Tidak akan seujung rambutpun berbuat kesyirikan. Dan bagaimana kita akan mengerti kesyirikan kalau hati kita banyak lupa pada Allah Swt., hatinya banyak lalai pada Allah Swt, hatinya lebih terkait pada selain Allah Swt. Thariqat itu untuk membersihkan hati kita, untuk membersihkan keterkaitan-keterkaitan itu. Keterkaitan atau ketergantungan hati pada selain Allah banyak sekli contohnya. Seperti juga keyakinan kita pada ikhtiar; usaha untuk mendapatkan sesuatu dengan cara yang syar’i.

Betul ikhtiar wajib. Tapi ikhtiar bukan satu upaya untuk memfonis pasti berhasil. Karena ikhtiar bukan Tuhan. Sejatinya ikhtiar untuk menambah ketaatan kita pada Allah, menambah ibadah kita pada Allah. Itulah ikhtiar. Kalau tidak ikhtiar darimana punya uang, mau makan dari mana kalau tidak ikhtiar, tidak boleh kita berkata dan berkeyakinan seperti itu.

Masalah rijki itu urusan Allah Swt., mau didatangkan melalui ikhtiar atau tidak yang penting kita melakukan ikhtiar, karena diperintahkan oleh Allah Swt. Jangan punya keyakinan; kalau tidak ikhtiar akan mati, karena ikhtiar bukan Tuhan. Mau diberi atau tidak, itu urusan Allah. Ikhtiar hakikatnya untuk menambah ibadah. Seperti kita salat berjamaah, kita berjalan menuju masjid. Berjalan menuju masjid adalah ikhtiar.Inilah diantaranya yang kita maksud; harus membersihkan hati dari keterkaitan-keterkaitan pada selain Allah Swt.

Rabu, 14 April 2010

Al Fana: Dan Tahapan-Tahapan Menuju Maqam Fana




Fana Dalam bahasa jawa berarti sepi, sunyi. Sementara fana dalam diri seseorang berarti besrihnya hati dari segala bentuk-bentuk keterkaitan, kebergantungan kepada selain Allah Swt. Orang-orang yang ada dalam maqamatil fana (kedudukan fana), mereka menuju kepada Allah Swt., tidak terkait, terpaut, kepada bentuk apapun. Bahkan pada kelebihan-kelebihan yang diberikan pada dirinya oleh Allah Swt., seperti inkisyaf, terbuka dan dapat mengetahui segala sesuatu. Dalam bahasa jawa inkisyaf itu adalah weruh sajeroning winara, mengetahui apa yang akan terjadi. Tapi sebetulnya mengetahui sesuatu yang akan terjadi itu bukan bentuk kekasyafan yang hakiki, yang sebenarnya. Karena hakikat al kasyfi, hakikat dari weruh sajeroning winara tujuannya adalah untuk memebenarkan apa yang dibenarkan oleh syariat. Sehingga orang-orang yang dibuka penghalang hatinya (hijab) atau mendapatkan kekasyafan dapat melihat syariah bukan hanya kulitnya saja.
Ibarat melihat lautan sampai kedasar lautan, tidak sebatas melihat permukaannya saja. Sehingga mengetahui mutiara-mutiara yang terpendam didasarnya. Itulah sesungguhnya kekasyafan, bukan untuk menebak atau membuka rahasia orang. Justru orang yang bibuka hijab oleh Allah Swt, akan menutupi kekasyafannya. Karena dengan dibuka hijabnya sehingga mereka bisa mengetahui aib, kekurangan dirinya sendiri yang menjadi penghalang-penghalang menuju Allah Swt. Dengan bersihnya hati, mereka dapat menerobos, menembus rahasia-rahasia Allah Swt. yang hanya diketahui orang tertentu.

Gambaran kekasyafan atau dibukanya hijab, seumpama dokter, dengan alat-alat canggih yang dimilikinya dapat mengetahui penyakit-penyakit yang tidak bisa dilihat oleh mata dan tidak diketahui dengan panca indra. Barangkali dapat dikatakan saat ini ilmu pengetahuan telah membuka inkisyaf secara saint. Seperti sinar X yang ditemukan tokoh-tokoh ilmuan bisa mengetahui sesuatu yang tersembunyi. Dengan bantuan sinar X seorang dokter dapat mengetahui penyakit yang tidak tampak, seperti benjolan-benjolan dalam tubuh yang tidak pada tempatnya. Benjolan penyakit yang tidak tampak pada permukaan kulit.

Demikian juga cairan-cairan dalam kepala bisa dilihat dengan bantuan sinar X. Itu baru ilmu yang secara lahir diberikan kepada manusia. Ilmu yang secara umum bisa dipelajari di bangku sekolah. Tapi sinar X yang diberikan pada orang yang makrifatnya kuat, yang telah dibuka hijabnya, tidak sebatas itu. Lebih jauh pandangannya. Karena mereka telah menggapai mutiara-mutiara yang ada dalam syariat Allah Jala Wa’ala yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Maka dengan ketajaman makrifatnya yang luar biasa, bukan suatu hal yang mustahil dapat mengetahui yang tidak tampak bagi keumuman orang.

Dengan sinar X saja seseorang bisa mengatahui tengkorak dan tulang manusia. Yang ganteng, yang cantik kalau direntogen yang terlihat bukan cantiknya lagi atau ganteng lagi, yang terlihat tengkoraknya dan tulangnya. Begitu pula ilmu kasyfi, bilamana orang sudah dibuka hijabnya oleh Allah Swt. akan bisa melihat tulang-tulang yang ada dalam diri manusia. Cuma berbentuknya lain, apa? Yang meninggalkan shalat, yang berbuat maksiat, kelihatan sekali bentuknya tidak lagi membentuk kegantengan atau kecantikannya, yang kelihatan tulang belulangnya, Cuma dalam bentuk yang lain. Kalu kita bertanya, apa manusia bisa seperti itu? Kalau memandang manusianya tidak mungkin bisa, tapi kalau Allah Taala menghendaki dan memberinya, tidak ada yang mustahil.

Jangankan seorang mukmin, para pembesar tokoh agama dijaman Firaun, mereka tidak beriman, mereka bisa mengetahui akan lahir seorang nabi yang akan melawan Firaun. Karena takutnya, Firaun membunuh setiap anak yang lahir. Mengapa Firaun melakukan hal itu? Karena dia mempercayai apa yang dikatakan oleh tokoh dalam agamanya. Dan terbukti itu benar, dengan lahirnya nabi Musa as. Demikian di jelaskan dalam al Quran. Nah orang seperti itu saja bisa diberi keanaehan, kelebihan oleh Allah Swt, apalagi orang yang beriman, yang menyebut ‘lâilâha illallah’. Orang yang hatinya dihiasi oleh ‘lâilâha illallah’, orang yang hatinya disinari oleh ‘lâilâha illallah’, orang yang dalam hatinya terukir kata ‘lâilâha illallah’.

Cahayanya menerangi matanya, bisa menerangi mulutnya, bisa menerangi lidahnya, bisa menerangi perilakunya. Sehingga seluruh anggota tubuhnya bisa dikendalikan. Karena apa? karena ukiran ‘lâilâha illallah’.

Sehingga hatinya selalu kembali kepada Allah Swt. Malu rasanya kalau kita duduk berbicara hal-hal yang tidak bermanfaat, Malu rasanya kalau kita duduk membuka aibnya orang, malu rasanya kita mempercayai omongan orang yang menjelek-jelekan orang lain. Itu semua tidak akan terjadi pada orang yang dalam hatinya telah terukir ‘lâilâha illallah’.

Ketika dia sujud mengucapkan: ‘subhâna rabiya al a’la wabihamdih’, maha suci tuhanku, dan segala puji baginya, bukan hanya sekedar sarat dalam shalat, atau karena itu peraturan shalat. Bacaan-bacaan itu diucapkan dengan pengagungan dan pengakuan yang sebenar-benarnya. kata-kata itu di ucapkan dengan betul-betul. Dirinya hilang (fana), sehingga mereka tidak pernah mengatakan siapa saya, saya si A, saya, si B, saya bisa ini, saya bisa itu, tidak. Dirinya hilang, yang ada adalah Allah Swt. Dalam kesehariannya mereka dapat membawa buahnya ruku, buahnya sujud, buahnya fatihah, sehabis shalat yang dilakukannya. Itulah diantaranya yang dimaksud dengan fana.





Artikel oleh : Habib Lutfi Yahya

Selasa, 13 April 2010



Tiga Sudut Pandang Tasawuf


Taswuf sumbernya ada tiga; pertama tasawuf indal akhlaq wal adab, yang kedua tasawuf indal Fuqaha; tasawuf menurut fuqaha, tasawuf inda ahlil Ma’rifat. Ini yang perlu diketahui. Tasawuf inda akhlaq wal adab bisa kita terapkan sedini mungkin untuk anak-anak kita. Terutama makan; pake tangan kanan, di ajari sedini mungkin, masuk kamar mandi kaki kiri, keluar kaki kanan ini tasawuf akhlak wal adab. Karena sumbernya tasawuf adalah min akhlaq wal adab, dari pekerti dan tatakrama.


Yang kedua tasawuf indal fuqaha: bagimana fiqih ini tidak berhenti hanya secara fiqhiah belaka. Contoh orang kalau sudah menjalakan wudhu mau sholat, setelah dipake shalat wudhunya kemana? Selesai kan?! Nah orang tasawuf tidak mau. Tasawuf menuntut sejauhmana anda membawa wudhu ini terlepas daripada kefardhuan yang sudah anda laksanakan. Apakah anda wudhu didalam shalat hanya terikat oleh syarat-syarat atau hukum-hukum syari’at. Anda dituntut oleh ulama tasawuf agar wudhumu bisa mewudhui bathiniah Anda atau tidak. Dan seterusnya. Disinilah hebatnya ilmu tasawuf.


Tasawuf inda ahli ma’rifat, nah disni banyak orang terjebak. Dalam dunia tasawuf, dalam ilmu ma’rifat mereka yang perbendaharaannya belum mumpuni, belum mencukupi seringkali terjebak. Akhirnya dia memunculkan analis-analis, seolah-olah tasawuf berbau Budha tasawuf, berbau Hindu. Karena apa? Mereka tidak tahu. Ilmu ma’rifatnya saja mereka tidak mengerti, apa sebetulnya ma’rifat itu. Dari kekosongan itu, mereka belajar menganalis tasawuf; orang-orang yang sudah ahli Marifat, tinggi sekali, dengan bahasanya yang luar biasa. Wong dalam Tasawuf fuqaha saja mereka sudah tidak bias memahami.


Contoh Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al Ghazali menjawab dunia falsafah, menjawab dunia tauhid aliarn ilmu kalam pada waktu berkembang macem-macem faham. Dijawab dengan tasawuf fuqaha, yaitu dengan munculnya ‘Ihya Ulumiddin’.


Mengapa dalam kitab Ihya ulumiddin banyak hadits-hdits maudu’ disamping dhaif. Karena apa? Pendapatnya ahli falasifah dijawab oleh Imam Al Ghazali dengan hadits yang maudhu saja, masih lebih baik haidits maudu’ daripada pendapat-pendapat kaum falasifah. Masih tepat, karena apa? Walaupun ini maudhu, tapi yang menggunakannya adalah orang-orang yang mengerti ma’rifat kepada Allah. Makanya disini digunakan oleh Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali.



Artikel oleh : Habib Lutfi Yahya

Selasa, 30 Maret 2010

MENCARI BENING MATA AIR

ﺑﺴﻤﺍﻠﻟﻪ ﺍﻟﺭ ﺤﻤﻦ ﺍﻟﺭﺤﯿﻤ

ﺍﻟﺤﻤﺪﻠﻟﻪ ﺍﻟﺫﻲ ﺠﻌﻞﺍﻻﺭﺾ ﻂﻴﺒﺔ ﻂﻬﻮﺭﺍﻮﻤﺴﺠﺪﺍ ﻮﺍﻠﺼﻼﺓﻮﺴﻼﻢ ﻋﻠﻰﺤﺒﻴﺒﻨﺎﻮﻗﺮﺓﺍﻋﻴﻨﻨﺎ ﻮﻤﻮﻻﻧﺎﺴﻴﺪﻧﺎﻤﺤﻤﺩ ﺍﻠﺫﻱ ﺍﺭﺴﻟﻪ ﺑﺷﻴﺭﺍﻭﻨﺫ ﻴﺭﺍ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻠﻪ ﻭﺻﺤﺑﻪ ﻮﻤﻦ ﺗﺒﻌﻬﻢ ﺍﻠﻰ ﻴﻮﻢ ﺍﻠﻘﻴﻤﻪ ﺍﻤﺍ ﺑﻌﺩ

Setelah kami melihat, menyaksikan serta memahami berbagai berbagai macam kejadian dan keadaan yang terjadi selama tidak kurang dari 10 (sepuluh) tahun akhir – akhir ini, baik yang terjadi di Kampung kami maupun di Desa – Desa yang ada di sekitar Kabupaten Sidoarjo, bahkan di daerah – daerah lain yang pernah kami singgahi, ada Persoalan atau masalah yang kurang lebih nyaris sama, yaitu adanya “ Semangat “ berlomba – lomba untuk menjadi atau senang dijadikan bagian dari yang dinamakan “ MASJID atau Pengurus “ dan yang berafiliasi dengan hal tersebut, agar mendapatkan Tempat atau Strata di Masyarakat. Mungkin dalam pandangan kami, semuanya tak lepas dari Dogma Agama ﻓﺎﺴﺗﺑﻘﻭﺍ ﺍﻠﺧﻴﺮﺖﺍ (“ Berlombah – lombah dalam hal kebajikan “).
Atau mereka sedang mengamalkan sabda baginda Rosulallah SAW.

ﻣﻥ ﺑﻧﻰ ﻣﺴﺟﺪﺍ ﻠﻟﻪ ﺑﻧﻰ ﺍﻠﻟﻪ ﻟﻪ ﻓﻲﺍﻟﺟﻧﺔ

“ Barang siapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah membangun baginya rumah di surga ( HR : Muslim ). Sungguh cita – cita yang luar biasa.

Tapi yang membuat kami menjadi agak sedih dan bingung adalah Proses atau Cara yang digunakan untuk itu, sering malah bertabrakan dengan dogma dan norma yang sudah ada atau baku. Baik kita sebagai manusia yang beragama atau kita manusia yang kebetulan tumbuh sebagai makhluk sosial tak jarang malah memutus tali Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Sya’biyah serta Ukhuwa Insyaniyah. Padahal dalam kaidah ushul fiqih :

ﺩﺭﺀﺍﻟﻣﻔﺎﺴﺪ ﻣﻘﺩﻢ ﻋﻠﻰ ﺟﻟﺐ ﺍ ﻠﻣﺼﺎﻟﺢ

“ Menghindari kerusakan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada mencari kemaslakhatan “.

Belum lagi setelah sudah menjadi pemimpin, cara yang digunakan untuk menjalankan atau memanage kepemimpinannya, Amanah yang di pegang sering atau acap kali tidak berlandaskan dengan aturan Agama atau mengacu pada kemaslakhatan itu sendiri. Bagaimana bisa berlombah – lombah dalam kebajikan tapi di lain sisi meruntuhkan sendi – sendi kebajikan ? Bukankah tujuan agama itu sendiri adalah memberikan kebajikan / kemaslkhatan di Dunia dan Akhirat bagi pemeluknya.

Demikian pandangan kami atas semua yang terjadi pada akhir – akhir ini di lingkungan kami dan sekitarnya yang tentunya sangat mungkin bisa salah dan keliru atau tidak tepat dan benar.


Atas semua itu perlu kiranya kami sampaikan sejarah Nabi Muhammad SAW yang ada kaitannya dengan uraian diatas :

“ Setelah kurang lebih 13 tahun Nabi SAW berdakwa di Makkah dengan mengalami berbagai macam tekanan dan ancaman, akhirnya Nabi SAW memutuskan Hijrah ke Madinah. Dalam perjalanan menuju Madinah, tepatnya pada tanggal 2 Rabiul Awal, Hari Senin ( 30 September 622 M ) Beliau singgah di daerah Kuba selama 22 malam. Di kota inilah Nabi SAW membangun sebuah masjid yang dalam Al-qur’an Allah SWT mengabadikannya dengan firmannya: ﻠﻣﺴﺠﺪ ﺍﺴﺲ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﺗﻘﻭﻰ
“ Masjid yang didasari dengan taqwa “.

Karena pada saat yang sama orang – orang munafik juga membangun Masjid yang tujuannya adalah untuk menandingi Masjid yang dibangun oleh Rasulallah SAW dan untuk memecah belah umat islam. Masjid Kuba inilah Masjid yang pertama kali didirikan oleh Rasulallah SAW.

Ada banyak faktor mengapa Rasulallah membangun Masjid ini, yang diantaranya adalah untuk memupuk dan menumbuhkan rasa persaudaraan dan kebersamaan antara kaum Anshor dan Muhajirin, disamping sebagai pembuktian kesetiaan dan ketaatan umat islam kepada Agamanya dan kepada Baginda Rasulallah SAW.

Merujuk sedikit Sejarah di atas, maka kami berkesimpulan bahwasannya ada bnyak faktor yang harus menjadi pertimbangan jika kita hendak melaksanakan Amanah atau Memimpin atau ingin menjadi yang memimpin dalam Masjid atau Organisasi dan yang berafiliasi dengan hal tersebut. Firman Allah SWT :

ﺍﻨﻤﺎﻴﻌﻤﺮ ﻤﺴﺠﺩ ﺍﻠﻟﻪ ﻤﻥ ﺍﻤﻥ ﺑﺎﺍﻠﻟﻪ ﻭﺍﻟﻴﻮﻢ ﺍﻟﻻﺧﺮ ﻮﺍﻗﺎﻡ ﺍﻠﺼﻼﺓ ﻮﺍﺗﻰ ﺍﻟﺰﻜﺍﺓ ﻮﻠﻮ ﻴﺨﺶﺍﻻﺍﻠﻠﻪ ﻓﻌﺴﻰ ﺍﻭﻠﺎﻚ ﺍﻦﻴﻛﻭﻧﻭﺍ ﻤﻥﺍﻠﻤﻬﺗﺪﻴﻥ

“ Hanyalah yang memakmurkan Masjid – masjid Allah ialah orang – orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, serta tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat dan tidak takut selain kepada Allah SWT, maka merekalah orang – orang yang diharapkan termasuk golongan orang – orang yang mendapat petunjuk “.

Melihat serta memahami ayat di atas ada beberapa faktor atau kriteria pemimpin atau yang mengurusi Masjid dan Organisasinya, yang tersirat dari ayat di atas :

1. Faktor Taqwa, yang tersirat dari kalimat ﻤﻥ ﺑﺎﺍﻠﻟﻪ ﻭﺍﻟﻴﻮﻢ ﺍﻟﻻﺧﺮ

2.Faktor ketegasan ( Adil ) yang tersirat dari kalimat ﻮﺍﻗﺎﻡﺍﻠﺼﻼﺓ

3. Faktor Sosial yang tersirat dari kalimat ﻮﺍﺗﻰ ﺍﻟﺰﻜﺍﺓ

4. Faktor Kejujuran dan Amanah yang tersirat dari ﻮﻠﻮ ﻴﺨﺶ ﺍﻻﺍﻠﻠﻪ

5. Faktor Keterbukaan/Mau Bertanya/Menerima Saran dan Kritik yang tersirat dari kalimat ﻓﻌﺴﻰﺍﻭﻠﺎﻚ ﺍﻦﻴﻛﻭﻧﻭﺍ ﻤﻥﺍﻠﻤﻬﺗﺪﻴﻥ


Dengan memperhatikan serta mempertimbangkan aspek/Faktor di atas, Insya Allah pemimpin – pemimpin yang di bebani Amanah oleh umat untuk mengatur serta mengelolah tanggung jawab atas Masjid akan menjadi lebih baik, lebih Transparan, lebih Bijaksana, kalaupun tidak mengerti suatu Hukum atau permasalahan tidak enggan untuk bertanya kepada yang lebih mengerti atas Hukum atau permasalahan tersebut, seperti yang difirmankan Allah SWT :
ﻓﺎﺴﻠﻭﺍ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺫﻛﺮ ﺍﻥ ﻛﻧﺗﻢ ﻻﺗﻌﻟﻤﻭﻥ

Yang pada akhirnya terciptanya keharmonisan umat beragama bukan hanya dengan Tuhannya tapi antara sesama umat, individu dengan individu.

Sebab Masjid adalah simbol dan sarana bagi hamba untuk bermunajat, melimpahkan segala bentuk persoalannya kepada Tuhannya. Masjid adalah tempat pertaubatan bagi hamba, tempat untuk meraih rahmat, maghfiroh serta ridho Allah. Dan Masjid merupakan tempat berinteraksinya manusia – manusia yang pada hakekatnya sebagai makhluk sosial.

Bila ditinjau dari segi Bahasa Masjid berasal dari kata sajada yang berarti tempat sujud, Masjid berarti temapt bersujud
Dan sujud itu sendiri adalah bukti ketaatan hamba, Nabi SAW bersabda
ﺍﻗﺮﺐﻤﺎﻴﻛﻭﻦ ﺍﻠﻌﺑﺪ ﻤﻦ ﺭﺒﻪ ﻓﻬﻭ ﺴﺎﺟﺪ

“ Lebih dekat – dekatnya seorang hamba dengan Tuhannya, ketika dia sedang bersujud “.

Dan akhirnya kepada Santri – santriku tercinta, Saudara – saudaraku, Sahabat – sahabatku yang mulia, ingatlah ! kalian semua adalah Pemimpin – pemimpin dan kalian semua akan ditanyai tentang kepemimpinanmu, kalian akan ditanyai atas rakyat yang kamu pimpin, maka bekalilah diri kalian dengan Ilmu dan Amal, jika kalian diberi Amanah untuk memimpin, bekalilah dirimu dengan sistem / managemen yang baik, jangan hanya dengan managemen Lillahita’ala. Pada saat ini / zaman sekarang tidak cukup dengan hanya lillahita’ala, sebab manusia sekarang banyak yang belum bisa dipercaya, sulit saat ini menemukan manusia yang bergelar Siddiq dan Amanah, ingat wasiat orang – orang Jawa dahulu “Pemimpin iku kudu pinter, bener lan puber” ( pemimpin itu harus pandai, mengerti yang dipimpin, harus jujur bisa dipercaya dan berakhlak mulia, harus tidak boleh patah semangat ).

Dan jika kalian kebetulan termasuk yang dipimpin jangan berhenti mengingatkan, menyampaikan pendapat, tapi tentunya harus dengan cara – cara yang santun dan hikmah, Firman Allah :
ﻭﺟﺎﺩ ﻠﻬﻢ ﺑﺎﻠﺗﻰ ﻫﻲ ﺍﺤﺴﻦ

Dan bantahlah mereka dengan yang lebih baik, yang pada akhirnya

ﺘﺻﺮﻒﺍﻻﻤﺎﻡ ﻤﻊ ﺍﻠﺮ ﻋﻴﺔ ﻤﺗﻭﻁ ﺒﺎﻠﻤﺼﻠﺤﺔ

Pemimpin itu menjalankan kepemimpinannya bersama rakyat yang dipimpin berlandaskan kemaslakhatan.



Penulis : MASHUDAN NA.
Pengasuh Sanggar Pendidikan Al-quran
Anak Negeri Al-Muhtadin.

MENCARI BENING MATA AIR

ﺑﺴﻤﺍﻠﻟﻪ ﺍﻟﺭ ﺤﻤﻦ ﺍﻟﺭﺤﯿﻤ

ﺍﻟﺤﻤﺪﻠﻟﻪ ﺍﻟﺫﻲ ﺠﻌﻞﺍﻻﺭﺾ ﻂﻴﺒﺔ ﻂﻬﻮﺭﺍﻮﻤﺴﺠﺪﺍ ﻮﺍﻠﺼﻼﺓﻮﺴﻼﻢ ﻋﻠﻰﺤﺒﻴﺒﻨﺎﻮﻗﺮﺓﺍﻋﻴﻨﻨﺎ ﻮﻤﻮﻻﻧﺎﺴﻴﺪﻧﺎﻤﺤﻤﺩ ﺍﻠﺫﻱ ﺍﺭﺴﻟﻪ ﺑﺷﻴﺭﺍﻭﻨﺫ ﻴﺭﺍ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻠﻪ ﻭﺻﺤﺑﻪ ﻮﻤﻦ ﺗﺒﻌﻬﻢ ﺍﻠﻰ ﻴﻮﻢ ﺍﻠﻘﻴﻤﻪ ﺍﻤﺍ ﺑﻌﺩ

Setelah kami melihat, menyaksikan serta memahami berbagai berbagai macam kejadian dan keadaan yang terjadi selama tidak kurang dari 10 (sepuluh) tahun akhir – akhir ini, baik yang terjadi di Kampung kami maupun di Desa – Desa yang ada di sekitar Kabupaten Sidoarjo, bahkan di daerah – daerah lain yang pernah kami singgahi, ada Persoalan atau masalah yang kurang lebih nyaris sama, yaitu adanya “ Semangat “ berlomba – lomba untuk menjadi atau senang dijadikan bagian dari yang dinamakan “ MASJID atau Pengurus “ dan yang berafiliasi dengan hal tersebut, agar mendapatkan Tempat atau Strata di Masyarakat. Mungkin dalam pandangan kami, semuanya tak lepas dari Dogma Agama ﻓﺎﺴﺗﺑﻘﻭﺍ ﺍﻠﺧﻴﺮﺖﺍ (“ Berlombah – lombah dalam hal kebajikan “).
Atau mereka sedang mengamalkan sabda baginda Rosulallah SAW.

ﻣﻥ ﺑﻧﻰ ﻣﺴﺟﺪﺍ ﻠﻟﻪ ﺑﻧﻰ ﺍﻠﻟﻪ ﻟﻪ ﻓﻲﺍﻟﺟﻧﺔ

“ Barang siapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah membangun baginya rumah di surga ( HR : Muslim ). Sungguh cita – cita yang luar biasa.


Tapi yang membuat kami menjadi agak sedih dan bingung adalah Proses atau Cara yang digunakan untuk itu, sering malah bertabrakan dengan dogma dan norma yang sudah ada atau baku. Baik kita sebagai manusia yang beragama atau kita manusia yang kebetulan tumbuh sebagai makhluk sosial tak jarang malah memutus tali Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Sya’biyah serta Ukhuwa Insyaniyah. Padahal dalam kaidah ushul fiqih :

ﺩﺭﺀﺍﻟﻣﻔﺎﺴﺪ ﻣﻘﺩﻢ ﻋﻠﻰ ﺟﻟﺐ ﺍ ﻠﻣﺼﺎﻟﺢ

“ Menghindari kerusakan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada mencari kemaslakhatan “.

Belum lagi setelah sudah menjadi pemimpin, cara yang digunakan untuk menjalankan atau memanage kepemimpinannya, Amanah yang di pegang sering atau acap kali tidak berlandaskan dengan aturan Agama atau mengacu pada kemaslakhatan itu sendiri. Bagaimana bisa berlombah – lombah dalam kebajikan tapi di lain sisi meruntuhkan sendi – sendi kebajikan ? Bukankah tujuan agama itu sendiri adalah memberikan kebajikan / kemaslkhatan di Dunia dan Akhirat bagi pemeluknya.

Demikian pandangan kami atas semua yang terjadi pada akhir – akhir ini di lingkungan kami dan sekitarnya yang tentunya sangat mungkin bisa salah dan keliru atau tidak tepat dan benar.







Atas semua itu perlu kiranya kami sampaikan sejarah Nabi Muhammad SAW yang ada kaitannya dengan uraian diatas :

“ Setelah kurang lebih 13 tahun Nabi SAW berdakwa di Makkah dengan mengalami berbagai macam tekanan dan ancaman, akhirnya Nabi SAW memutuskan Hijrah ke Madinah. Dalam perjalanan menuju Madinah, tepatnya pada tanggal 2 Rabiul Awal, Hari Senin ( 30 September 622 M ) Beliau singgah di daerah Kuba selama 22 malam. Di kota inilah Nabi SAW membangun sebuah masjid yang dalam Al-qur’an Allah SWT mengabadikannya dengan firmannya: ﻠﻣﺴﺠﺪ ﺍﺴﺲ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﺗﻘﻭﻰ
“ Masjid yang didasari dengan taqwa “.

Karena pada saat yang sama orang – orang munafik juga membangun Masjid yang tujuannya adalah untuk menandingi Masjid yang dibangun oleh Rasulallah SAW dan untuk memecah belah umat islam. Masjid Kuba inilah Masjid yang pertama kali didirikan oleh Rasulallah SAW.

Ada banyak faktor mengapa Rasulallah membangun Masjid ini, yang diantaranya adalah untuk memupuk dan menumbuhkan rasa persaudaraan dan kebersamaan antara kaum Anshor dan Muhajirin, disamping sebagai pembuktian kesetiaan dan ketaatan umat islam kepada Agamanya dan kepada Baginda Rasulallah SAW.

Merujuk sedikit Sejarah di atas, maka kami berkesimpulan bahwasannya ada bnyak faktor yang harus menjadi pertimbangan jika kita hendak melaksanakan Amanah atau Memimpin atau ingin menjadi yang memimpin dalam Masjid atau Organisasi dan yang berafiliasi dengan hal tersebut. Firman Allah SWT :

ﺍﻨﻤﺎﻴﻌﻤﺮ ﻤﺴﺠﺩ ﺍﻠﻟﻪ ﻤﻥ ﺍﻤﻥ ﺑﺎﺍﻠﻟﻪ ﻭﺍﻟﻴﻮﻢ ﺍﻟﻻﺧﺮ ﻮﺍﻗﺎﻡ ﺍﻠﺼﻼﺓ ﻮﺍﺗﻰ ﺍﻟﺰﻜﺍﺓ ﻮﻠﻮ ﻴﺨﺶﺍﻻﺍﻠﻠﻪ ﻓﻌﺴﻰ ﺍﻭﻠﺎﻚ ﺍﻦﻴﻛﻭﻧﻭﺍ ﻤﻥﺍﻠﻤﻬﺗﺪﻴﻥ

“ Hanyalah yang memakmurkan Masjid – masjid Allah ialah orang – orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, serta tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat dan tidak takut selain kepada Allah SWT, maka merekalah orang – orang yang diharapkan termasuk golongan orang – orang yang mendapat petunjuk “.

Melihat serta memahami ayat di atas ada beberapa faktor atau kriteria pemimpin atau yang mengurusi Masjid dan Organisasinya, yang tersirat dari ayat di atas :

1. Faktor Taqwa, yang tersirat dari kalimat ﻤﻥ ﺑﺎﺍﻠﻟﻪ ﻭﺍﻟﻴﻮﻢ ﺍﻟﻻﺧﺮ

2.Faktor ketegasan ( Adil ) yang tersirat dari kalimat ﻮﺍﻗﺎﻡﺍﻠﺼﻼﺓ

3. Faktor Sosial yang tersirat dari kalimat ﻮﺍﺗﻰ ﺍﻟﺰﻜﺍﺓ

4. Faktor Kejujuran dan Amanah yang tersirat dari ﻮﻠﻮ ﻴﺨﺶ ﺍﻻﺍﻠﻠﻪ

5. Faktor Keterbukaan/Mau Bertanya/Menerima Saran dan Kritik yang tersirat dari kalimat ﻓﻌﺴﻰﺍﻭﻠﺎﻚ ﺍﻦﻴﻛﻭﻧﻭﺍ ﻤﻥﺍﻠﻤﻬﺗﺪﻴﻥ





Dengan memperhatikan serta mempertimbangkan aspek/Faktor di atas, Insya Allah pemimpin – pemimpin yang di bebani Amanah oleh umat untuk mengatur serta mengelolah tanggung jawab atas Masjid akan menjadi lebih baik, lebih Transparan, lebih Bijaksana, kalaupun tidak mengerti suatu Hukum atau permasalahan tidak enggan untuk bertanya kepada yang lebih mengerti atas Hukum atau permasalahan tersebut, seperti yang difirmankan Allah SWT :
ﻓﺎﺴﻠﻭﺍ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺫﻛﺮ ﺍﻥ ﻛﻧﺗﻢ ﻻﺗﻌﻟﻤﻭﻥ

Yang pada akhirnya terciptanya keharmonisan umat beragama bukan hanya dengan Tuhannya tapi antara sesama umat, individu dengan individu.

Sebab Masjid adalah simbol dan sarana bagi hamba untuk bermunajat, melimpahkan segala bentuk persoalannya kepada Tuhannya. Masjid adalah tempat pertaubatan bagi hamba, tempat untuk meraih rahmat, maghfiroh serta ridho Allah. Dan Masjid merupakan tempat berinteraksinya manusia – manusia yang pada hakekatnya sebagai makhluk sosial.

Bila ditinjau dari segi Bahasa Masjid berasal dari kata sajada yang berarti tempat sujud, Masjid berarti temapt bersujud
Dan sujud itu sendiri adalah bukti ketaatan hamba, Nabi SAW bersabda
ﺍﻗﺮﺐﻤﺎﻴﻛﻭﻦ ﺍﻠﻌﺑﺪ ﻤﻦ ﺭﺒﻪ ﻓﻬﻭ ﺴﺎﺟﺪ

“ Lebih dekat – dekatnya seorang hamba dengan Tuhannya, ketika dia sedang bersujud “.

Dan akhirnya kepada Santri – santriku tercinta, Saudara – saudaraku, Sahabat – sahabatku yang mulia, ingatlah ! kalian semua adalah Pemimpin – pemimpin dan kalian semua akan ditanyai tentang kepemimpinanmu, kalian akan ditanyai atas rakyat yang kamu pimpin, maka bekalilah diri kalian dengan Ilmu dan Amal, jika kalian diberi Amanah untuk memimpin, bekalilah dirimu dengan sistem / managemen yang baik, jangan hanya dengan managemen Lillahita’ala. Pada saat ini / zaman sekarang tidak cukup dengan hanya lillahita’ala, sebab manusia sekarang banyak yang belum bisa dipercaya, sulit saat ini menemukan manusia yang bergelar Siddiq dan Amanah, ingat wasiat orang – orang Jawa dahulu “Pemimpin iku kudu pinter, bener lan puber” ( pemimpin itu harus pandai, mengerti yang dipimpin, harus jujur bisa dipercaya dan berakhlak mulia, harus tidak boleh patah semangat ).

Dan jika kalian kebetulan termasuk yang dipimpin jangan berhenti mengingatkan, menyampaikan pendapat, tapi tentunya harus dengan cara – cara yang santun dan hikmah, Firman Allah :
ﻭﺟﺎﺩ ﻠﻬﻢ ﺑﺎﻠﺗﻰ ﻫﻲ ﺍﺤﺴﻦ

Dan bantahlah mereka dengan yang lebih baik, yang pada akhirnya

ﺘﺻﺮﻒﺍﻻﻤﺎﻡ ﻤﻊ ﺍﻠﺮ ﻋﻴﺔ ﻤﺗﻭﻁ ﺒﺎﻠﻤﺼﻠﺤﺔ

Pemimpin itu menjalankan kepemimpinannya bersama rakyat yang dipimpin berlandaskan kemaslakhatan.



Penulis : MASHUDAN NA.
Pengasuh Sanggar Pendidikan Al-quran
Anak Negeri Al-Muhtadin.

Rabu, 17 Maret 2010

About Me

Sanggar Pendidikan Al-Qur'an Al-Muhtadin

Sanggar Anak Negeri adalah suatu wadah atau tempat untuk belajar dan menampung serta menyalurkan semua ide, kreatifitas dan bakat bagi semua lapisan mayarakat yang membutuhkan khususnya anak – anak dan remaja yang ada di lingkungan Desa Trosobo dan sekitarnya. Sanggar Anak Negeri berdiri pada tanggal 16 Agustus 2004 di Desa Trosobo RT 04 RW 06 Kecamatan Taman. Sanggar Anak Negeri mempunyai murid atau yang disebut santri yang sebagian besar terdiri dari para anak – anak dan remaja.
Tentunya kita juga punya berbagai macam program dan kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan non formal bagi anak – anak dan pemuda serta kegiatan kerohanian dan kebudayaan seperti ; TPQ, Jam’iyah Istighosah, Pengajian Rutin, Donor Darah, Pecinta Alam dan Kesenian. Dengan program serta kegiatan – kegiatan tersebut secara tidak langsung Sanggar Anak Negeri berperan serta menciptakan masyarakat berbangsa dan bernegara yang peduli kepada sesama dan lingkungan sekitarnya serta selalu berusaha menciptakan manusia yang senantiasa bertaqwa kepada Allah SWT.

Diskusi Tentang Mencari Bening Mata Air

Diskusi ini adalah refleksi hari kelahiran Rasululloh Muhammad SAW. Dimana dalam diskusi ini membahas tentang sosok pemimpin.