Selasa, 27 April 2010

Karakter Mukmin Dalam Maqom Fana

Orang yang sampai pada maqam fana adalah orang yang berhasil membawa nilai-nilai shalat dalam seluruh aspek hidupnya. Ketika dia mengucapkan kata ‘ihdina shirata al mustaqim’ dalam shalat, bukan hanya untuk dirinya, tapi mendoakan orang lain, untuk semuanya. Bahkan menganggap yang didoakan lebih baik daripada dirinya.

Itulah orang yang mendapat berkah as sujud. Dimana digambarkan secara jelas dalam surat Fatah ayat 29: “Muhammad Rasulullah walladzina maahu assyida’u ala al Kuffar, ruhama’u bainahum, tarâhum rukkaan, sujjadan, yabtaghuna fadzla minallah waridhwana, simahum fi wujuhihim min atsari sujud”, Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Mukanya bercahaya, buktinya apa? Wajahnya selalu tersenyum. Seperti Rasulullah Saw. ketika menghadapi bermacam-macam umat, wajah beliau selalu berseri-seri. Selalu paling dahulu mengucapkan salam.Nah, orang yang dibuka hijabnya oleh Allah Swt. akan membawa nilai-nilai itu (baca:shalat, puasa dll) dalam kesehariannya. Dia semakin takut pada Allah, tidak berani membuka aib siapapun. Saya memberi contoh dengan kisah Hasan al Bashri, menurut satu pendapat Sufyan Tsauri.
Ketika Rabi’ah Adawiyah seorang wali wanita dilamar oleh Hasan al Bashri. Rabi’ah Adawiah mengatakan : ‘saya terima lamaran Anda kalau Anda bisa menjawab pertanyaan saya’. Apa pertanyaannya? Anda tahu tidak nanti saya kalau mati husnul khatimah atau suul khatimah? Yang bertanya wali wanita, yang ditanya pembesar para wali.

Apa jawaban Hasan Bashri? Beliau diam tidak menjawab, padahal beliau diberi tahu oleh Allah Swt.; mengetahui kalau Rabi’ah Adawiah akan husnul khatimah. Lebih baik tidak mendapatkan Rabi’ah Adawiah daripada suul adab, tidak sopan pada Allah Swt. Tidak seperti sekarang, murah ramalan; awas akan terjadi ini, akan terjadi itu. Para wali tidak begitu, mereka takut sama Allah Swt.
Para wali Allah yang sudah sampai pada maqamat al fana tidak tergiur dengan yang demikian.Dijaman Maulana Khalid al Mujadid para pelaku thariqah oleh Allah Swt. diberi karamah yang aneh-aneh; bisa terbang, bisa berjalan diatas air, besi ditekuk lemes. Sehingga banyak para pelaku thariqah yang hatinya terkait dengan hal yang demikian, akhirnya tidak bisa sampai (wusul) pada Allah Swt. Maka sewaktu Maulana Khalid memohon pada Allah Swt. supaya semua itu dihilangkan; yang terbang, jatuh; yang berjlan diatas air, tenggelam. Akhirnya setelah itu para pelaku thariqah kembali pada Allah Swt., tujuan para pelaku thariqat pada waktu itu lurus kembali.Banyak orang salah paham; bisa melemaskan besi; thariqat, bisa bercakap-cakap sama orang yang ada dikubur; thariqat, bisa berjalan diatas air; thariqat. Thariqat itu bukan seperti itu. Thariqat itu membingbing setiap individu manusia dalam meningkatkan sisi kehambaannya di sisi Allah Swt., kesadarannya sebagai hamba Allah Swt. Itu tujuan thariqat.

Masuk thariqat supaya diangkat jadi wali; supaya bisa inkisyaf, bukan untuk itu. Tapi thariqat untuk menjalankan apa yang ada dalam ihsan :’beribdahlah pada Allah seolah engkau dapat melihatNya. Jika tidak bisa, beribdahlah karena engkau dilihat Allah’ (HR: Al Bukhari 26. Muslim 93. Abu Dawud 4695. At Tirmidzi 2610. An Nasa’I 5005. Ibnu Majah 63. Ahmad jilid I, hal 28. Ibnu Hiban 168). Kalau kita sampai atau sudah mendekati maqam fana, hati itu bersih. Tidak akan seujung rambutpun berbuat kesyirikan. Dan bagaimana kita akan mengerti kesyirikan kalau hati kita banyak lupa pada Allah Swt., hatinya banyak lalai pada Allah Swt, hatinya lebih terkait pada selain Allah Swt. Thariqat itu untuk membersihkan hati kita, untuk membersihkan keterkaitan-keterkaitan itu. Keterkaitan atau ketergantungan hati pada selain Allah banyak sekli contohnya. Seperti juga keyakinan kita pada ikhtiar; usaha untuk mendapatkan sesuatu dengan cara yang syar’i.

Betul ikhtiar wajib. Tapi ikhtiar bukan satu upaya untuk memfonis pasti berhasil. Karena ikhtiar bukan Tuhan. Sejatinya ikhtiar untuk menambah ketaatan kita pada Allah, menambah ibadah kita pada Allah. Itulah ikhtiar. Kalau tidak ikhtiar darimana punya uang, mau makan dari mana kalau tidak ikhtiar, tidak boleh kita berkata dan berkeyakinan seperti itu.

Masalah rijki itu urusan Allah Swt., mau didatangkan melalui ikhtiar atau tidak yang penting kita melakukan ikhtiar, karena diperintahkan oleh Allah Swt. Jangan punya keyakinan; kalau tidak ikhtiar akan mati, karena ikhtiar bukan Tuhan. Mau diberi atau tidak, itu urusan Allah. Ikhtiar hakikatnya untuk menambah ibadah. Seperti kita salat berjamaah, kita berjalan menuju masjid. Berjalan menuju masjid adalah ikhtiar.Inilah diantaranya yang kita maksud; harus membersihkan hati dari keterkaitan-keterkaitan pada selain Allah Swt.

Rabu, 14 April 2010

Al Fana: Dan Tahapan-Tahapan Menuju Maqam Fana




Fana Dalam bahasa jawa berarti sepi, sunyi. Sementara fana dalam diri seseorang berarti besrihnya hati dari segala bentuk-bentuk keterkaitan, kebergantungan kepada selain Allah Swt. Orang-orang yang ada dalam maqamatil fana (kedudukan fana), mereka menuju kepada Allah Swt., tidak terkait, terpaut, kepada bentuk apapun. Bahkan pada kelebihan-kelebihan yang diberikan pada dirinya oleh Allah Swt., seperti inkisyaf, terbuka dan dapat mengetahui segala sesuatu. Dalam bahasa jawa inkisyaf itu adalah weruh sajeroning winara, mengetahui apa yang akan terjadi. Tapi sebetulnya mengetahui sesuatu yang akan terjadi itu bukan bentuk kekasyafan yang hakiki, yang sebenarnya. Karena hakikat al kasyfi, hakikat dari weruh sajeroning winara tujuannya adalah untuk memebenarkan apa yang dibenarkan oleh syariat. Sehingga orang-orang yang dibuka penghalang hatinya (hijab) atau mendapatkan kekasyafan dapat melihat syariah bukan hanya kulitnya saja.
Ibarat melihat lautan sampai kedasar lautan, tidak sebatas melihat permukaannya saja. Sehingga mengetahui mutiara-mutiara yang terpendam didasarnya. Itulah sesungguhnya kekasyafan, bukan untuk menebak atau membuka rahasia orang. Justru orang yang bibuka hijab oleh Allah Swt, akan menutupi kekasyafannya. Karena dengan dibuka hijabnya sehingga mereka bisa mengetahui aib, kekurangan dirinya sendiri yang menjadi penghalang-penghalang menuju Allah Swt. Dengan bersihnya hati, mereka dapat menerobos, menembus rahasia-rahasia Allah Swt. yang hanya diketahui orang tertentu.

Gambaran kekasyafan atau dibukanya hijab, seumpama dokter, dengan alat-alat canggih yang dimilikinya dapat mengetahui penyakit-penyakit yang tidak bisa dilihat oleh mata dan tidak diketahui dengan panca indra. Barangkali dapat dikatakan saat ini ilmu pengetahuan telah membuka inkisyaf secara saint. Seperti sinar X yang ditemukan tokoh-tokoh ilmuan bisa mengetahui sesuatu yang tersembunyi. Dengan bantuan sinar X seorang dokter dapat mengetahui penyakit yang tidak tampak, seperti benjolan-benjolan dalam tubuh yang tidak pada tempatnya. Benjolan penyakit yang tidak tampak pada permukaan kulit.

Demikian juga cairan-cairan dalam kepala bisa dilihat dengan bantuan sinar X. Itu baru ilmu yang secara lahir diberikan kepada manusia. Ilmu yang secara umum bisa dipelajari di bangku sekolah. Tapi sinar X yang diberikan pada orang yang makrifatnya kuat, yang telah dibuka hijabnya, tidak sebatas itu. Lebih jauh pandangannya. Karena mereka telah menggapai mutiara-mutiara yang ada dalam syariat Allah Jala Wa’ala yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Maka dengan ketajaman makrifatnya yang luar biasa, bukan suatu hal yang mustahil dapat mengetahui yang tidak tampak bagi keumuman orang.

Dengan sinar X saja seseorang bisa mengatahui tengkorak dan tulang manusia. Yang ganteng, yang cantik kalau direntogen yang terlihat bukan cantiknya lagi atau ganteng lagi, yang terlihat tengkoraknya dan tulangnya. Begitu pula ilmu kasyfi, bilamana orang sudah dibuka hijabnya oleh Allah Swt. akan bisa melihat tulang-tulang yang ada dalam diri manusia. Cuma berbentuknya lain, apa? Yang meninggalkan shalat, yang berbuat maksiat, kelihatan sekali bentuknya tidak lagi membentuk kegantengan atau kecantikannya, yang kelihatan tulang belulangnya, Cuma dalam bentuk yang lain. Kalu kita bertanya, apa manusia bisa seperti itu? Kalau memandang manusianya tidak mungkin bisa, tapi kalau Allah Taala menghendaki dan memberinya, tidak ada yang mustahil.

Jangankan seorang mukmin, para pembesar tokoh agama dijaman Firaun, mereka tidak beriman, mereka bisa mengetahui akan lahir seorang nabi yang akan melawan Firaun. Karena takutnya, Firaun membunuh setiap anak yang lahir. Mengapa Firaun melakukan hal itu? Karena dia mempercayai apa yang dikatakan oleh tokoh dalam agamanya. Dan terbukti itu benar, dengan lahirnya nabi Musa as. Demikian di jelaskan dalam al Quran. Nah orang seperti itu saja bisa diberi keanaehan, kelebihan oleh Allah Swt, apalagi orang yang beriman, yang menyebut ‘lâilâha illallah’. Orang yang hatinya dihiasi oleh ‘lâilâha illallah’, orang yang hatinya disinari oleh ‘lâilâha illallah’, orang yang dalam hatinya terukir kata ‘lâilâha illallah’.

Cahayanya menerangi matanya, bisa menerangi mulutnya, bisa menerangi lidahnya, bisa menerangi perilakunya. Sehingga seluruh anggota tubuhnya bisa dikendalikan. Karena apa? karena ukiran ‘lâilâha illallah’.

Sehingga hatinya selalu kembali kepada Allah Swt. Malu rasanya kalau kita duduk berbicara hal-hal yang tidak bermanfaat, Malu rasanya kalau kita duduk membuka aibnya orang, malu rasanya kita mempercayai omongan orang yang menjelek-jelekan orang lain. Itu semua tidak akan terjadi pada orang yang dalam hatinya telah terukir ‘lâilâha illallah’.

Ketika dia sujud mengucapkan: ‘subhâna rabiya al a’la wabihamdih’, maha suci tuhanku, dan segala puji baginya, bukan hanya sekedar sarat dalam shalat, atau karena itu peraturan shalat. Bacaan-bacaan itu diucapkan dengan pengagungan dan pengakuan yang sebenar-benarnya. kata-kata itu di ucapkan dengan betul-betul. Dirinya hilang (fana), sehingga mereka tidak pernah mengatakan siapa saya, saya si A, saya, si B, saya bisa ini, saya bisa itu, tidak. Dirinya hilang, yang ada adalah Allah Swt. Dalam kesehariannya mereka dapat membawa buahnya ruku, buahnya sujud, buahnya fatihah, sehabis shalat yang dilakukannya. Itulah diantaranya yang dimaksud dengan fana.





Artikel oleh : Habib Lutfi Yahya

Selasa, 13 April 2010



Tiga Sudut Pandang Tasawuf


Taswuf sumbernya ada tiga; pertama tasawuf indal akhlaq wal adab, yang kedua tasawuf indal Fuqaha; tasawuf menurut fuqaha, tasawuf inda ahlil Ma’rifat. Ini yang perlu diketahui. Tasawuf inda akhlaq wal adab bisa kita terapkan sedini mungkin untuk anak-anak kita. Terutama makan; pake tangan kanan, di ajari sedini mungkin, masuk kamar mandi kaki kiri, keluar kaki kanan ini tasawuf akhlak wal adab. Karena sumbernya tasawuf adalah min akhlaq wal adab, dari pekerti dan tatakrama.


Yang kedua tasawuf indal fuqaha: bagimana fiqih ini tidak berhenti hanya secara fiqhiah belaka. Contoh orang kalau sudah menjalakan wudhu mau sholat, setelah dipake shalat wudhunya kemana? Selesai kan?! Nah orang tasawuf tidak mau. Tasawuf menuntut sejauhmana anda membawa wudhu ini terlepas daripada kefardhuan yang sudah anda laksanakan. Apakah anda wudhu didalam shalat hanya terikat oleh syarat-syarat atau hukum-hukum syari’at. Anda dituntut oleh ulama tasawuf agar wudhumu bisa mewudhui bathiniah Anda atau tidak. Dan seterusnya. Disinilah hebatnya ilmu tasawuf.


Tasawuf inda ahli ma’rifat, nah disni banyak orang terjebak. Dalam dunia tasawuf, dalam ilmu ma’rifat mereka yang perbendaharaannya belum mumpuni, belum mencukupi seringkali terjebak. Akhirnya dia memunculkan analis-analis, seolah-olah tasawuf berbau Budha tasawuf, berbau Hindu. Karena apa? Mereka tidak tahu. Ilmu ma’rifatnya saja mereka tidak mengerti, apa sebetulnya ma’rifat itu. Dari kekosongan itu, mereka belajar menganalis tasawuf; orang-orang yang sudah ahli Marifat, tinggi sekali, dengan bahasanya yang luar biasa. Wong dalam Tasawuf fuqaha saja mereka sudah tidak bias memahami.


Contoh Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al Ghazali menjawab dunia falsafah, menjawab dunia tauhid aliarn ilmu kalam pada waktu berkembang macem-macem faham. Dijawab dengan tasawuf fuqaha, yaitu dengan munculnya ‘Ihya Ulumiddin’.


Mengapa dalam kitab Ihya ulumiddin banyak hadits-hdits maudu’ disamping dhaif. Karena apa? Pendapatnya ahli falasifah dijawab oleh Imam Al Ghazali dengan hadits yang maudhu saja, masih lebih baik haidits maudu’ daripada pendapat-pendapat kaum falasifah. Masih tepat, karena apa? Walaupun ini maudhu, tapi yang menggunakannya adalah orang-orang yang mengerti ma’rifat kepada Allah. Makanya disini digunakan oleh Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali.



Artikel oleh : Habib Lutfi Yahya